Cianjur, cianjurtimes.com – Sejumlah siswa MAN 1 Cianjur mengalami trauma pascakejadian keracunan massal yang diduga berasal dari makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Beberapa siswa bahkan menolak mengonsumsi tempe dan daging ayam yang orang tua mereka siapkan, karena mengingatkan pada menu terakhir dari program MBG.
Salah satu orang tua siswa menyampaikan bahwa anaknya yang duduk di kelas 10 menolak makan tempe goreng buatan rumah dua hari setelah insiden keracunan terjadi.
“Kemarin saya masakkan tempe mendoan, tapi anak saya tidak mau menyentuhnya. Katanya rasanya mirip seperti makanan MBG yang terakhir dia makan,” ungkapnya, Kamis (24/4/2025).
Ia juga menjelaskan bahwa anaknya tidak hanya menolak tempe, tetapi juga hidangan berbahan dasar daging ayam.
“Sepertinya masih trauma. Kalau melihat ayam pun langsung kehilangan nafsu makan,” tambahnya.
Kepala MAN 1 Cianjur, Erma, membenarkan bahwa kejadian keracunan tersebut menimbulkan trauma bagi sebagian siswa.
“Karena kejadiannya baru saja, wajar jika masih ada siswa yang trauma. Tapi kami optimistis kondisi mereka akan membaik seiring waktu,” jelasnya.
Untuk membantu pemulihan mental siswa, pihak sekolah berencana memberikan edukasi tentang program MBG dan berdiskusi bersama orang tua terkait kualitas penyedia makanan.
“Kami akan bahas apakah perlu mengganti dapur penyedia MBG. Tapi pergantian pun belum tentu menjamin mutu lebih baik. Mungkin setelah kejadian ini, penyedia yang sama justru akan memperbaiki layanannya,” katanya.
Dinas Pendidikan Turunkan Tim Pasca Keracunan di MAN 1 Cianjur
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Cianjur, Ruhli, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menurunkan tim untuk menangani dampak insiden tersebut.
“Sejak kejadian, kami langsung lakukan pengawasan dan evaluasi. Selain itu, kami juga menyiapkan tim pemulihan untuk membantu siswa yang terdampak trauma,” ujarnya.
Ia menambahkan, Dinas akan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memastikan makanan program MBG memenuhi standar kelayakan.
“Program ini masih tahap uji coba. Di Cianjur baru beberapa sekolah yang menjalankannya. Kami akan jadikan ini sebagai pelajaran penting agar ketika penerapan secara resmi, kejadian serupa tidak terulang,” tegas Ruhli.