Menu

Mode Gelap
Dugaan Korupsi Retribusi Kebun Raya Cibodas, Sejumlah Pejabat di Cianjur Diperiksa Polda Jabar KPU Cianjur Resmi Tetapkan Wahyu-Ramzi sebagai Bupati dan Wakil Bupati Terpilih Ekskul Jurnalistik SMA IABS Cipanas Berkontribusi Sukseskan Journalist Goes To School Journalist Goes to School: Ratusan Kepala SD di Cianjur Antusias Ikuti Pelatihan Jurnalistik Hasil Pilbup Cianjur Sudah Final, Wahyu-Ramzi Pimpin Cianjur Kecelakaan di Sukabumi: Mobil Elf Bawa Rombongan Dekan Universitas Suryakancana Cianjur

Pendidikan

Toponimi Pamoyanan Cianjur, Tempat Istirahat dan Berjemurnya Badak Putih

badge-check


					Toponimi Pamoyanan Cianjur, Tempat Istirahat dan Berjemurnya Badak Putih Perbesar

CianjurKelurahan Pamoyanan, Cianjur adalah salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Indonesia. Kelurahan ini memiliki karakteristik dan potensi yang menarik untuk dibahas.

Profil Singkat

  • Letak: Terletak strategis di Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur.
  • Luas Wilayah: Memiliki luas wilayah sekitar 144,6 hektar.
  • Jumlah Penduduk: Dihuni oleh sekitar 14.935 jiwa dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi.
  • Potensi: Memiliki potensi dalam berbagai bidang, seperti ekonomi masyarakat, pariwisata, dan budaya.

di bawah ini merupakan sejarah penamaan kelurahan Pamoyanan, Kecamatan Cianjur.

Kabupaten Cianjur

Pada abad ke 16 di Tatar Sunda terdapat sebuah kerajaan Hindu yang bernama kerajaan
Talaga yang letaknya berada di kaki gunung Ciremai. Penguasa kerajaan Talaga yaitu Sunan
Wanapri. Keturunan dari Sunan Wanapri merupakan nenek moyang dari orang Cianjur.

Dalam babad karya Raden Aria Adipati Kusumah ningrat (1834-1862), Sunan Wanapri memiliki putra bernama Sunan Ciburang, dan Sunan Ciburang memiliki putra bernama Raden Aria Wangsa Goparana.

Wangsa Goparana pindah ke Gunung Gedogan, Gunung Layung, dan akhirnya menetap di kampung Nangkabeurit, Sagaraherang. Dalam perpindahan Wangsa Goparana dari satu tempat ke tempat lain, ia disertai cacah atau rakyat yang terus berkembang sehingga terbentuklah Kabupaten Cianjur hingga kini.
Wangsa Goparana memiliki putra bernama Jayasasana. Perpindahan kesatuan masyarakat atau cacah terus berlanjut menyebar ke wilayah-wilayah sepanjang aliran sungai Cibalagung, Cirata,dan sungai Cijagang(Cikundul). Pemimpin tertinggi cacah yaitu Kepala Cacah.

Sejalan dengan fungsi utamanya yaitu untuk membangun kehidupan yang teratur, setiap cacah membangun aturan-aturan yang harus ditaati bersama. Dari cacah-cacah kemudian terbentuk kesatuan masyarakat yang lebih besar sehingga membentuk daerah daerah baru yang disebut babakan, kemudian berkembang menjadi lembur kemudian kampung, nagri, dan bentuk paling tinggi yaitu padaleman.

Wilayah Jayasasana berkembang menjadi padaleman yang bernama Cikundul. Dalem Cikundul yaitu Jayasasana memakai gelar Aria Wira Tanu I.

Dalem Cikundul mengadakan pertemuan dengan Dalem-Dalem yang lain seperti Nalamerta (Dalem Cipamingkis), Nyilih Nagara (Dalem Cimapag), Wangsa Kusumah (Dalem Cikalong), Natamanggala (Dalem Cibalagung), dan Wastu Nagara (Dalem Cihea) dengan kesepakatan akhir menyatukan wilayah kekuasaan masing-masing dalam sebuah wilayah kekuasaan baru yang dinamai padaleman Cianjur.

Sebagai orang yang dipandang lebih tua dan paling dihormati di antara para dalem, Aria Wira Tanu mendapatkan kepercayaan sebagai pemimpin padaleman Cianjur. Kekuasaannya terpusat di daerah Cikundul.

Menurut catatan Cikundul-bond, terbentuknya padaleman Cianjur berkisar pada tahun 1677. Hal ini diperkuat fakta bahwa di tahun itulah masa-masa kekuasaan Mataram berakhir, dengan penyerahan sebagian wilayah periangan yaitu periangan Barat (di dalamnya terdapat wilayah Cianjur) dari Mataram ke VOC melalui perjanjian yang disepakati pada tanggal 19-20 Oktober 1677.

Pada masa pemerintahan Aria Wira Tanu II, Cianjur berubah menjadi kabupaten dan penggunaan kata Dalem diganti menjadi Bupati yang terintegrasi ke dalam sistem politik VOC.

Aria Wira Tanu II merupakan putra pertama dari Aria Wira Tanu I. Nama asli Aria Wira Tanu II yaitu Raden Aria Wiramanggala dan dikenal dengan sebutan Dalem Tarikolot. Raden Aria Wiramanggala sempat menjadi umbul Cilaku sebelum akhirnya menjadi bupati Cianjur.

Aria Wiramanggala merupakan bupati pertama Cianjur yang diakui oleh VOC. Pada masa pemerintahannya, ibu kota Cianjur berpusat di Pamoyanan.

Penelitian toponimi menunjukkan bahwa nama “Cianjur” berasal dari bahasa Sunda Kuno. Kata “anjur” bermakna “air yang deras,” yang merujuk pada keberadaan sungai utama yang melintasi wilayah pusat pemerintahan Cianjur di masa lampau.

Berdasarkan kemungkinan historis, ketika pusat pemerintahan berpindah ke daerah Pamoyanan, sungai tersebut memiliki arus yang sangat deras dan menjadi elemen penting dalam kehidupan masyarakat, baik secara fungsional maupun simbolis. Saat ini, meskipun aliran sungai tersebut tidak lagi deras, keberadaannya tetap menjadi bukti historis yang mendukung penamaan “Cianjur.”

Hal ini juga menggambarkan pentingnya sungai sebagai pusat aktivitas masyarakat dan alasan geografis pemilihan lokasi pemerintahan di wilayah tersebut. Dalam perspektif legenda, posisi geografis ini dianggap ideal karena berada di tengah-tengah wilayah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Cianjur.

Sungai yang deras tidak hanya memberi identitas, tetapi juga menjadi simbol kehidupan dan penghubung antarwilayah.

pamoyanan

Kelurahan Pamoyanan

a. Terbentuknya Pamoyanan

a) . Versi Pertama

Raden Aria Wiramanggala (Raden Aria Wira Tanu II) mulai mencari tempat setelah diberitahu tentang suatu tempat yang tanahnya miring di sebelah barat daya dekat sungai Cianjur. Di sana terdapat pangguyangan badak putih di tengah-tengah hutan belukar lalu jika tempat itu dijadikan sebagai pusat kota Cianjur, maka akan tercapai kemakmuran dan kesuburan.

Ada dua sumber tentang siapa yang memerintah Aria Wiramanggala untuk mencari tempat tersebut.

Dari Sumber yang pertama, Raden Aria Wiramanggala diperintahkan oleh ayahnya yaitu Jayasasana (Raden Aria Wira Tanu I), ada juga sumber yang menyebutkan bahwa Aria Wiramanggala diperintah oleh orang tua misterius yang setelah memberikan perintah, orang tua tersebut tiba-tiba menghilang.

Aria Wiramanggala pergi ke arah barat daya bersama empat orang saudaranya yaitu, Raden Aria Wiradimanggala, Raden Aria Natadimanggala, Raden Natamanggala, dan Nyi Mas Karanggan.

Aria Wiramanggala dan rombongan tiba di sebuah hutan belantara. Mereka membuka hutan belantara itu dengan bergotong royong hingga dengan kesepakatan bersama tempat itu dijadikan pemukiman dan dinamakan kampung Muka.

Setelah itu Aria Wiramanggala dengan rombongan melanjutkan perjalanan mereka hingga mereka bertemu dengan sebuah tempat yang penuh dengan sarang elang sehingga tempat tersebut dinamakan Sayang Heulang. Mereka melanjutkan perjalanan ke sebelah selatan dan barat, melewati payau-payau dan tanah rawa yang kemudian dijadikan pesawahan yang kemudian diberi nama Ranca Bali.

Aria Wiramanggala meneruskan perjalanan ke arah barat. Setelah jauh berjalan ia melihat remang-remang tanah yang agak tinggi. Berjalanlah Aria Wiramanggala ke tempat yang tinggi itu.

Pemandangan yang indah terlihat dari tempat ia berdiri. Segala tempat dapat terlihat dari sana sehingga tempat tersebut bernama Panembong atau dalam bahasa sunda Katembong yang artinya terlihat. Dari Panembong Aria Wiramanggala meneruskan perjalanan turun ke arah timur.

Rombongan menemukan tempat dan dijadikannya tempat untuk beristirahat dan tidur hingga tempat tersebut dinamakan Pasarean. Setelah beristirahat Mereka melanjutkan perjalanan yang mengharuskan mereka membuka jalan karena begitu liarnya hutan tersebut.

Rombongan menggelarkan peralatan dan bersiap-siap membuka lahan baru hingga akhirnya tempat tersebut dinamkan Pagelaran. Rombongan kembali meneruskan perjalanan dan di sepanjang perjalanan mereka menemukan pohon salak dan kopi hingga tempat tersebut dinamakan Salakopi. Tempat yang mereka cari-cari yaitu pangguyangan badak putih belum lagi mereka temukan.

Di tengah perjalanan, setelah berbelok ke arah selatan, Aria Wiramanggala bersama rombongannya beristirahat sambil menjemur badan.

Dalam bahasa sunda menjemur badan artinya moyan. Akhirnya tempat tersebut dinamakan Pamoyanan. Aria Wiramanggala memutuskan untuk membangun pemukiman di Pamoyanan dan menjadi pemimpin di tempat tersebut dengan mendapatkan gelar Raden Aria Wira Tanu II atau Dalem Pamoyanan.

Pada masa-masa akhir pemerintahan Raden Aria Wira Tanu II, Pangguyangan Badak Putih berhasil ditemukan setelah menyusuri Sungai Cianjur. Pangguyangan Badak Putih merupakan mata air tempat badak-badak berwarna putih berkubang. Tempat tersebut berada di tengah hutan rimba sebelah selatan Pamoyanan.

Hingga akhirnya Pangguyangan Badak Putih menjadi pusat kota Cianjur pada saat itu. Namun, Aria Wira Tanu II belum sempat memindahkan ke kuasaan ke tempat Pangguyangan Badak Putih dikarenakan Aria Wira Tanu II meninggal dunia di Pamoyanan saat itu.

b) Versi kedua

Pamoyanan sebenarnya bukan toponimi Cianjur, karena hampir di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat ada tempat bernama Pamoyanan. Seperti di Bogor, Bandung, dan Sukabumi. Pamoyanan seperti halnya Pataruman, Maleber, dan Cimahi yang juga menjadi nama tempat di beberapa daerah.

Pamoyanan sebenarnya berhubungan dengan penjajahan. Di Jawa Barat, Cianjur tidak hanya dijajah oleh Belanda tetapi juga dijajah oleh Cirebon dan kerajaan Mataram.

Menurut tulisan Budi Rahayu Tamsyah, yaitu seorang peneliti budaya dan dosen di ITB menjelaskan ketika Cirebon menjajah, setiap kota yang dijajah oleh Cirebon akan disamakan nama tempatnya. Ketika Cirebon menjajah, setiap kota yang dijajah tersebut akan disamakan tempatnya. Di Jawa Barat ada sekitar sembilan Kabupaten tua yang pernah dijajah oleh Cirebon yaitu Cianjur, Bandung, Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, Kawasen (sekarang tidak ada), dan ada beberapa yang lainnya.

Pada saat Cirebon menguasai Jawa Barat, politiknya memiliki kesamaan dengan politik Mataram yaitu, Demak Mataram pada saat kekuasaan Sultan Trenggono. Hingga pada waktu itu, Jawa Barat dikuasai oleh tiga kesultanan.

Dulu di Cianjur tidak ada Pamoyanan, namun pada saat itu mungkin disamakan dengan nama daerah di Cirebon, jadi seluruh daerah yang dijajah di Jawa Barat nama daerah nya disamakan dengan Cirebon. Namun, jika menurut cerita rakyat, Pamoyanan yaitu tempat berjemurnya badak putih pada saat itu. Jadi, nama Pamoyanan tidak ada unsur budaya ataupun kepahlawanan melainkan hanya itu saja.

Penamaan antara desa dan kelurahan itu berbeda, jika desa itu dipilih oleh masyarakatnya pada saat pilkades, namun jika kelurahan itu sudah dibawah wewenang Bupati.

Jadi, Pamoyanan sebenarnya sudah ada sejak jaman Bupati ke-2, dan Bupati ke-2 juga lah yang sudah memindahkan ibu kota Cikundul ke Cianjur. Menurut dokumen Belanda, sejak tahun 1680 daerah Cikundul sudah ditinggalkan. Pamoyanan juga menjadi tempat yang menjadi perpindahan ibu kota Cikundul ke Cianjur atas perebutan kekuasaan antara anak dalam Cikundul, yaitu Wiramanggala dengan Natamanggala. Mereka memperebutkan kekuasaan untuk menjadi Bupati Cibalagu, dan yang pertama kali diangkat yaitu Natamanggala. Kemudian, untuk Wiramanggala disuruh untuk pindah ke Pamoyanan.

b. Ikon Pamoyanan

a. Pasarean

Saat ini Pasarean merupan sebuah tempat pemakaman umum. Namun, banyak tokoh penting yang dimakamkan di Pasarean, Desa Pamoyanan, Cianjur. Raden Aria Wira Tanu II (Raden Wiramanggala) merupakan anak dari Raden Aria Wira Tanu I juga Pendiri dari Pamoyanan di makamkan di Pasarean.

Selain itu, tokoh penting lainnya yang dimakamkan di Pasarean antara lain: Raden Aria Wira Tanu III (Raden Astramanggala), Randen Kanjeng Dalem Wiratanu Datar IV, Raden Adipati Prawiradireja I (Dalem Sepuh), Raden Aria Adipati Kusumaningrat (Dalem Pancaniti), Raden Adipati Wiratanu Datar IV (Raden Sabirudin), Raden Adipati Wiratanu Datar V (Raden Muhyidin), Raden Adipati Wiratanu Datar VI (Raden Noh Wiranagara), dan masih banyak lagi. Pangeran Hidayatullah II merupakan Sultan Banjar yang diasingkan oleh Belanda juga dimakamkan di Pasarean.

b. Badak Putih

Babad Cibalagung, yang pernah diteliti sejarawan Drs. Atja, tapi sayangnya tidak tuntas karena pak Atja keburu wafat. Babad Cibalagung tersebut mengisahkan bahwa Badak Putih asalnya dari Cirebon, dan “ngamuk” memporak-porandakan Alun-Alun Kesultanan Cirebon.

Tidak ada seorangpun yang mampu menjinakkan hewan itu. Dan saat itu, diantara tokoh yang sedang bertamu kepada Sultan Cirebon salah satunya Dalem Aria Yuda, yang diangkat Sultan menjadi Bupati Cibalagung.

Aria Yuda lalu meminta ijin untuk menaklukan badak putih. Dan ternyata ditangan Aria Yuda, badak putih menjadi tidak berdaya. Sultan Cirebon (kemungkinan Panembahan Ratu II) merasa tentram dengan kejadian tersebut, dan memerintahkan Aria Yuda membawanya ke Cibalagung, Cianjur.

Dalam versi ini dikisahkan Dalem Aria Yuda tidak menurunkan tahta kepemimpinan Bupati Cibalagung kepada putranya. Namun, ia menyerahkannya kepada Rd. Jayasasana sebagai wakilnya yang kemudian hari disebut Dalem Cikundul. Kemudian, Aria Yuda dikisahkan “ngahiyang” dan petilasannya terdapat di sekitar Stasiun KA Salajambe Cianjur kota. Dan, Cibalagung sekarang tinggalah sebuah perkampungan di Desa Kademangan, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur. (Luki Muharam R).

c. Masjid Agung Cianjur (Kaum)

Bangunan Masjid Agung Cianjur, berdiri sejak 1810. Masjid ini tujuh kali mengalami renovasi dan menjadi simbol pusat keagamaan di Cianjur. Ending Bahrudin, penulis buku Sejarah Masjid Agung Cianjur menuturkan, titi mangsa berdirinya Masjid Agung Cianjur. Untaian syair yang terdiri atas 11 larik itu terukir di atas papan jati seukuran daun pintu yang dipajang di depan mihrab.

“Isinya merupakan puji-pujian dan kekaguman terhadap Kabah Mekah dan Masjid Nabawi Madinah, dan masjid ini sendiri,“ kata Ending.

Di akhir syair itulah tertulis keterangan Masjid Agung Cianjur ini pertama kali dibangun pada 1290 hijriyah atau tahun 1810. Namun Ending menyebutkan, ukiran syair sebagai bukti otentik itu kini hilang dan tak diketahui keberadaannya hingga sekarang. “Hilang sewaktu renovasi masjid yang kelima di tahun 1968,“ ucap Ending.

Menurut Sejarah, pada saat dahulu kala tidak ada sebutan khusus untuk Masjid Agung,hingga Masyarakat sekitar menyebutnya dengan Kaum. Kaum juga bisa diartikan sebagai Masjid yang besar.

d. Pangguyangan Badak Putih

Wilayah Pamoyanan juga menjadi pusat pemerintahan awal Kabupaten Cianjur, dengan titik nolnya berada di sekitar Paguyangan Badak. Hingga saat ini, sumber air di Paguyangan masih dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Sumur badak putih menjadi ciri pada saat akan perpindahan ibu kota dari Cikundul, dalam Cikundul berwasiat kepada Wiramanggala untuk pindah dan membuka wilayah baru dengan ciri ada pangguyangan badak (tempat mandinya para badak) untuk dijadikan perpindahan dari Cikundul dan menjadi Bupati disana.

Raden Aria Wiramanggala (Raden Aria Wira Tanu II) dengan Raja Mataram

Pada masa pemerintahan Raden Aria Wira Tanu II di Pamoyanan, Mataram merupakan kerajaan besar yang sedang berkuasa di Jawa, termasuk Jawa Barat. Mataram juga berpengaruh pada wilayah Pamoyanan di Cianjur. Seorang utusan dari Mataram datang ke Cianjur agar Dalem-Dalem Cianjur tunduk dan membayar upeti pada mereka.

Raden Aria Wira Tanu II dengan saudara-saudara nya bermusyawarah tentang bagaimana mereka menyikapi perintah Mataram. Adik Raden Aria Wira Tanu II yaitu Raden Aria Cikondang yang dikenal sangat sakti menginginkan untuk melawan Mataram.

Namun Raden Aria Wira Tanu II tidak menginginkan peperangan karena menurutnya peperangan hanya akan menyengsarakan rakyat. Keputusan Akhir dari Raden Aria Wira Tanu II yaitu membuat sebuah surat bernama surat kalih untuk ditujukan kepada Amangkurat II.

Surat kalih diiringi dengan tiga macam persembahan yaitu tiga butir lada yang melambangkan kondisi Pamoyanan atau Cianjur yang masih kecil dan daerah yang baru dibangun, tiga butir padi melambangkan perkembangan Pamoyanan yang kelak akan menjadi daerah yang sangat subur, dan tiga buah cabai rawit melambangkan sikap Pamoyanan yang tidak akan tunduk apabila Mataram tetap memaksakan Pamoyanan untuk tunduk.

Dengan adanya surat kalih tersebut, Raden Aria Wira Tanu II menyatakan penolakan terhadap perintah raja Mataram, sedangkan tiga macam persembahan merupakan penghormatan terhadap raja Mataram.

Raden Aria Wira Tanu II mengutus adiknya Natadimanggala yang memiliki tingkat diplomasi yang luhung, kesopanan yang tinggi, dapat berbahasa Jawa dengan sempurna, berbudi pekerti yang baik, untuk mengantarkan surat Kalih kepada Raja Mataram.

Ketika raja Mataram menerima surat dan persembahan itu, ia langsung paham dengan apa yang di sampaikan Raden Aria Wira Tanu II dan menghormati keputusan Dalem Pamoyanan tersebut. Raja Mataram menitipkan surat balasan yang isinya menegaskan bahwa Pamoyanan (Cianjur) tidak dijajah oleh Mataram bahkan dijadikannya Cianjur adalah saudara dari Mataram.

Selain itu, raja Mataram juga menghadiahkan tiga macam benda yaitu sebilah keris yang langsung dicabut dari pinggang raja Mataram sendiri, Seekor kuda, dan bibit pohon saparantau. Tiga macam benda yang diberikan raja Mataram kepada Raden Aria Wira Tanu II juga memiliki arti yaitu sebilah keris yang dicabut oleh seorang raja langsung dari ikat pinggang kemudian diserahkan kepada raja lainnya melambangkan penyerahan diri raja tersebut.

Namun apabila sebilah kkeris tersebut diberikan kepada seorang bupati maka itu melambangkan sebuah pengakuan raja dan bupati tersebut sebagai saudara. Lalu seekor kuda melambangkan tunggangan yang dapat berlari sangat cepat, maka secara diplomatis, raja Mataram merestui pembangunan Kabupaten Cianjur dan mendoaakannya agar berjalan dengan baik dan pembangunan tersebut cepat selesai.
Sepanjang pengirimannya kuda tersebut dari Raja Mataram, Raden Aria Cikondang (Raden Aria Natadimanggala) tidak menunggangi kuda tersebut karena sangat menghormati kakaknya dan diaraknya hingga sampai ke Pamoyanan. Karena peristiwa itulah hingga saat ini kuda tersebut dinamakan kuda kosong.

Sementara bibit pohon samparantau merupakan pohon yang memiliki umur sangat panjang. Bahkan pohon tersebut masih ada sampai kini. Pohon samparantau melambangkan kesuburan dan
pembangunan berkelanjutan.

Legenda ini tidak hanya menjadi bagian dari sejarah lokal tetapi juga merepresentasikan hubungan diplomasi antara Cianjur dan Mataram pada masa itu. Adanya peninggalan berupa pohon Saparantu, serta cerita rakyat tentang “Kuda Kosong,” menunjukkan bagaimana sejarah dan kepercayaan masyarakat membentuk identitas wilayah hingga saat ini.(*)

**Tulisan ini merupakan hasil penelitian Kelompok I Mahasiswa Universitas Suryakancana mata kuliah Linguistik dengan dosen pengampu Ibu Dr. Hj. Si Maryam, M.Pd. dan Bapak Cecep Nuryadin,
S.Pd., M.Pd.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Ekskul Jurnalistik SMA IABS Cipanas Berkontribusi Sukseskan Journalist Goes To School

6 Februari 2025 - 09:33 WIB

Ekskul Jurnalistik SMA IABS

Journalist Goes to School: Ratusan Kepala SD di Cianjur Antusias Ikuti Pelatihan Jurnalistik

6 Februari 2025 - 09:05 WIB

Journalist goes to school

BKN dan KemenPANRB Bahas Penataan Non-ASN dan Lanjutan Seleksi PPPK 2024

1 Februari 2025 - 09:38 WIB

Penataan Non-ASN

SNPMB 2025: Cara Masuk Perguruan Tinggi Negeri Impian

1 Februari 2025 - 09:26 WIB

SNPMB 2025

Dua Ruangan Kelas SDN Sukasari Ambruk Tertimpa Pohon Beringin Raksasa

30 Januari 2025 - 15:32 WIB

SDN Sukasari
Trending di Berita