CIANJURTIMES, Cianjur – Elite birokrat Cianjur diduga menikmati aliran dana hasil Pajak Penerangan Jalan (PPJ) hingga miliaran rupiah. Meski kejanggalan dana PPJ ini terus menjadi sorotan publik, terdapat dugaan dana tersebut menjadi bancakan kepala daerah, pegawai ASN hingga pegawai non ASN di lingkungan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Cianjur.
Ketua Harian DPP Prabhu Indonesia Jaya, Hendra Malik mengatakan, adanya alokasi anggaran untuk belanja insentif pemungutan PPJ pada Bapenda sebesar Rp3.325.000.000 atau Rp3,2 miliar lebih, memperkuat dugaan tersebut.
“Dana sebesar itu terdiri dari belanja pegawai dan belanja barang dan jasa. Belanja pegawai terdiri dari belanja insentif bagi ASN atas pemungutan PPJ sebesar Rp1.995.000.000 dan belanja insentif bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah atas pemungutan PPJ sebesar Rp.212.800.000,” ujarnya kepada cianjurtimes.com, Jumat (1/11/2024).
Sedangkan untuk barang dan jasa, sambung dia, sebesar Rp1.117.200.000 atau Rp1,1 miliar lebih untuk belanja jasa insentif bagi pegawai non ASN atas pemungutan PPJ.
BACA JUGA : Warga Cianjur Keluhkan Penerangan Jalan Minim Meski Pajak Penerangan Jalan Naik
“Pertanyaannya apakah pemberian insentif pemungutan PPJ tahun 2024 itu sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan? Hal ini mengingat pada tahun anggaran 2023 terdapat temuan BPK RI yang menemukan adanya pemberian insentif pemungutan PPJ yang tidak sesuai ketentuan,” ungkapnya.
Ia membeberkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 1 angka 5 menyebutkan, definisi pemungutan pajak adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya.
“Sedangkan hasil audiensi kami baik dengan Bapenda ataupun dengan PLN, keduanya kompak menjawab bahwa rangkaian kegiatan pemungutan pajak penerangan jalan itu belum dilakukan seperti yang disebutkan PP 69 tahun 2010,” sebutnya
Hendra menyebutkan, PPJ disetor oleh PLN secara rutin ke rekening Pemkab Cianjur berdasarkan pelunasan rekening atau pembelian token oleh pelanggan berdasarkan persentase penetapan PPJ melalui perda.
“Maka saya menilai dana hasil PPJ tersebut hanyalah jadi bancakan kelompok tertentu, yang seharusnya dana tersebut balik lagi manfaatnya untuk masyarakat. Bukankah normatifnya PPJ itu digunakan untuk menyediakan dan memelihara penerangan jalan oleh pemerintah daerah?” jelasnya.
“Sehingga Pembiayaan Pajak Penerangan Jalan ini sangat penting karena digunakan untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan masyarakat. Dalam Pengembangan infrastruktur dapat meningkatkan kualitas lampu jalan atau pada pemasangan lampu di pinggir jalan,” pungkasnya.
Kenaikan PPJ Tanpa Sosialisasi
Diberitakan sebelumnya, Kenaikan Pajak Penerangan Jalan (PPJ) di Kabupaten Cianjur membuat geram sejumlah kalangan. Apalagi kenaikan pajak daerah tersebut diduga dilakukan tanpa adanya sosialisasi.
Sekadar informasi, PPJ di Cianjur sebesar 6 persen dari setiap transaksi pembelian atau pembayaran daya listrik. Namun sejak Februari 2024, besaran pajak naik menjadi 10 persen. Banyak warga yang tidak mengetahui kenaikan tersebut.
Ridwan (42), warga Sindangbarang misalnya. Ia mengaku tidak pernah tahu adanya kenaikan tarif PPJ. Menurutnya, kenaikan tarif apapun yang bebannya bakal dirasakan masyarakat seharusnya disosialisasikan terlebih dahulu.
“Ya kesel karena tahu-tahu ada kabar naik. Pantesan yang biasanya beli token listrik Rp50 ribu itu cukup buat sebulan, sekarang jadi harus Rp100 ribu. Hal yang lebih heran lagi, pajaknya naik, tapi penerangan jalan di Cianjur belum ada perubahan, masih saja pada gelap,” ujarnya, Kamis (3/9/2024).
Menanggapi hal tersebut, Ketua Harian DPP Prabhu Indonesia Jaya, Hendra Malik mengatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cianjur dinilai sudah keterlaluan karena sudah sewenang-wenang menaikkan PPJ tanpa adanya sosialisasi.
“Kami sudah melakukan audiensi dengan Bapenda (Badan Pendapatan Daerah) Cianjur dan juga PLN. Informasinya, kenaikan itu sudah dilakukan sejak Februari 2024. Tapi tidak ada sosialisasi. Sampai saat ini masyarakat tidak tahu, ini tentu keterlaluan,” katanya.
Menurutnya, kenaikan tarif pajak tanpa sosialisasi diduga merupakan cara agar tidak terjadi protes dan gejolak di masyarakat. Sehingga nilai pajak dari sektor tersebut bisa naik dan para pejabat bisa menikmati hasil melalui upah pungut.
“Kalau kondisinya seperti ini, indikasi atau dugaannya jadi kuat karena dilakukan secara diam-diam tanpa sosialisasi. Kita ketahui dari pajak penerangan jalan ini ada insentif upah pungut. Jadi diduga dinaikkan tanpa sosialisasi agar bisa lancar, nilai pendapatannya naik dan insentif upah pungut bertambah. Di sisi lain masyarakat dibebankan,” kata dia.
Lebih parahnya lagi, lanjut Hendra, kenaikan tarif pajak penerangan jalan tidak diimbangi dengan penyediaan fasilitas penerangan jalan umum yang memadai.
“Ini yang lebih parah, jangankan di pelosok di perkotaan pun banyak yang PJU-nya mati. Kalau sebanding dengan fasilitas mungkin tidak keberatan. Tapi masih banyak yang tidak ada PJU, bahkan PJU yang ada pun mati tapi pajak dinaikkan,” ungkapnya.
Sementara itu, Sekertaris Bapenda Cianjur, Ardian Athoillah menyebutkan, kenaikan pajak penerangan jalan umum yang saat ini masuk dalam kategori Pajak Barang Jasa Tertentu ditetapkan berdasarkan pembahasan bersama antara legislatif dan eksekutif pada 2023 lalu.
“Disepakati saat itu nilai pajak penerangan jalan menjadi 10 persen. Jadi, sektor pajak tersebut dinaikkan dengan pertimbangan adanya penurunan nilai pajak di sektor lainnya.
Dengan naiknya PPJ, sambung Ardian, potensi pajak dari sektor tersebut juga naik dari yang semula Rp72 miliar pada 2023 lalu menjadi Rp78 miliar di tahun ini.
“Awalnya potensi pajak penerangan jalan itu Rp72 miliar. Namun di perubahan anggaran potensinya dinaikkan jadi Rp78 miliar,” sebutnya.
Terkait sosialisasi, Ia mengakui hal itu memang belum dilakukan secara menyeluruh. Namun Ardian menegaskan jika hal itu bukan karena kesengajaan ataupun terdapat maksud tertentu.
“Sebenarnya sosialisasi sudah, tapi belum menyeluruh. Belum optimal, sehingga masih banyak yang belum tahu. Ini jadi masukan untuk kami agar menyosialisasikannya lebih luas lagi,” ucapnya.
Terpisah, Asisten Manager Pemasaran dan Pelayanan Pelanggan PLN Cianjur, Nurcahyaningsih menyebut tahapan sosialisasi bukan merupakan ranah PLN, sebab yang berhak melakukan hal itu hanya pihak yang membuat regulasi penetapan tarif PPJ.
“Jadi tahapan sosialisasi itu bukan produk yang dikeluarkan PLN, dan hal itu kembali lagi ke tupoksinya siapa pemberi atau pengeluaran produk. Itulah yang berhak melakukan sosialisasi kepada masyarakat,” pungkasnya.(*)